Bollywood Vs Hollywood
Bollywood
adalah portmanteau (gabungan dua atau lebih kata atau morfem yang
membentuk makna baru) dari kata Bombay (nama lama kota Mumbai) dengan
kata Hollywood. Orang sering salah kaprah dan menganggap film-film India
sebagai film Bollywood. Padahal tidak semua film India adalah film Bollywood
sebagaimana tidak semua film Amerika adalah film Hollywood. Baik Bollywood
maupun Hollywood adalah pusat industri film. Bedanya kalau Hollywood memiliki
tempat/wilayah yang nyata, yaitu berlokasi di sebelah barat laut Los Angeles,
California. Sedang kalau kita pergi ke Mumbai dan mencari Bollywood pasti tidak
akan ketemu, karena memang tidak ada wilayah/desa/kecamatan/karesidenan yang
bernama Bollywood.
Istilah
Bollywood mulai dikenal sejak tahun 1970-an. Kita tidak tahu pasti siapa yang
menciptakan istilah ini. Beberapa orang pernah mengaku sebagai penciptanya, di
antaranya pembuat lirik dan film Amit Khanna dan seorang jurnalis bernama
Bevinda Collaco. Ada yang mengatakan Bollywood terinspirasi dari kata
Tollywood, yaitu istilah yang merujuk pada film-film yang berasal dari wilayah
Bengali Barat, tepatnya di Tollygunge (pusat perfilman India sebelum pindah ke
Bombay). Jadi Bollywood adalah istilah yang kita gunakan untuk merujuk pada
film-film yang berbasis di Mumbai, yang notabene menjadi pusat produksi film
India sekarang menggantikan pusatnya yang dulu yang ada di Tollygunge, yang
lazim disebut Tollywood.
Baik
Bollywood maupun Hollywood sangat gemar membuat film-film super. Entah itu
super hero, super love, super canggih, ataupun super khayal. Saya tidak tahu
apakah ini masalah “Siapa yang mencekoki” ataukah “Siapa yang minta
cekok”. Dan jika kita bicara soal film bagus apakah itu artinya harus film
yang menyuguhkan segalanya serealistis mungkin? Jika demikian maka artinya
tidak lain dan tidak bukan; setiap film musikal adalah film buruk. Ini tentu
akan ditentang oleh banyak pihak. Khususnya penggemar film Bollywood.
Untuk
kesuksesan sebuah film unsur teknis memang punya peran besar. Tapi unsur ini
pun akan sangat relatif dan berbeda keragamannya berdasarkan genre film yang
bersangkutan. Misalnya untuk film action mungkin dibutuhkan sebuah jet tempur
sungguhan, sedang untuk film komedi hanya dibutuhkan sebuah celana pendek yang
lusuh, dan untuk film drama dibutuhkan mata yang berkaca-kaca atau mungkin
mimik wajah orang yang memendam dua perasaan berbeda. Sinematografi yang
diterapkan juga akan sangat berbeda antara sebuah film dokumenter dengan film
fiksi-ilmiah. Meski begitu ada satu unsur yang mungkin sama dalam semua jenis
film, yang menentukan keberhasilannya, yakni skenario yang cerdas.
Budget
besar, aktor senior, sutradara beken, tapi skenario buruk maka filmnya pasti akan
jadi sampah. Saya kira ini pula kenapa film Indonesia sedikit sekali bisa
berkiprah di kancah internasional; karena sangat amat miskin akan skenario yang
cerdas. Penyebabnya? Macam-macam, di antaranya kian hari kita kian menghindari
kesusastraan. Kalaupun mau baca novel, maka novel-novel yang sangat ringan.
Saking mewabahnya kemerosotan minat ini sampai-sampai kita, maaf, menjadi
seperti segerombol anak TK yang fanatik dengan lagu “Lihat Bapak Polisi” dan
mengklaim itulah lagu terbaik yang pernah ada. Katak di bawah tempurung kelapa
dan bersikeras mengatakan tempurung tersebut adalah langit. Hmm..
Untuk
mempermudah komunikasi, di sini saya akan menggunakan Bollywood sebagai
metonimia film-film India, dan Hollywood sebagai metonimia film-film Amerika.
Kekuatan film-film Bollywood adalah pada Emotional Stirring-nya. Mungkin
90 % film Bollywood adalah film keluarga & percintaan. Ini bisa jadi sangat
membosankan dan bisa jadi juga sangat bermanfaat. Membosankan karena tanpa
skenario yang cerdas seorang Shahrukh Khan bukanlah apa-apa di sini.
Sebaliknya, tema keluarga adalah tema yang makin genting mengingat semakin
metropolisnya gaya hidup kita. Emotional Stirring yang ditawarkan
Bollywood biasanya mempengaruhi penonton untuk menjadi sosok yang jauh lebih
menyayangi keluarga atau pasangannya. And for me it’s fairly good.
Berbeda
dengan superlove-nya Bollywood, maka Hollywood lebih suka dengan superhero
atau segala yang bersifat heroic. Berpuluh atau mungkin
beratus film superhero/heroic diproduksi Hollywood. Kalau kita mau jujur maka
kebanyakan superhero-nya Hollywood itu sebenarnya lebih fiktif ketimbang
superlove-nya Bollywood. Tapi Hollywood pun punya banyak kelebihan,
terutama dalam hal budget. Dengan budget besar Hollywood bisa membuat film-film
fiksi-ilmiah yang super canggih, bisa membeli skenario-skenario cerdas, dan
membayar aktor-aktris profesional yang mahal. Tentu saja, karena Amerika adalah
negara liberal-kapitalis. Tapi meski begitu apa sih sebenarnya buruknya film
superhero? Hampir semua film superhero kan bertemakan humanity; yaitu
bahwa yang salah harus diperangi, dan yang lemah harus dilindungi? This
couldn’t be called bad.
Adalah
jelas bahwa “populer tidak berarti bagus”, demikian juga sebaliknya. Tapi
adalah paradoksal juga karena saya pribadi sebenarnya tidak mempunyai patokan
yang jelas untuk mengkategorikan sebuah film ke dalam karya yang berkualitas.
Jika sebuah film tidak bisa saya tebak jluntrung-nya, dan jika sebuah
film setelah saya tonton untuk pertama kalinya ingin saya tonton setidaknya dua
atau tiga kali lagi, maka biasanya para kritikus sependapat dengan saya bahwa
film itu bagus. Dengan model pengkategorian seperti itu, maka sangat sedikit
film yang masuk dalam kategori “berkualitas”. Beberapa film-film Hollywood yang
saya hampir tidak pernah bosan menontonnya lagi dan lagi adalah:
- The Godfather (1972)
- Rain Man (1988)
- Pretty Woman (1990)
- The Matrix (1999)
- Cast Away (2000)
Sedang
untuk film-film Bollywood yang cukup berkesan bagi saya adalah:
- Mann (1999)
- Kabhi Khusi Kabhi Gham (2001)
- Koi… Mil Gaya (2003)
- 3 idiots (2009)
- My Name is Khan (2010)
Skrip
film Bollywood biasanya jauh lebih sederhana dibandingkan skrip film Hollywood,
namun dramatisasinya biasanya juga luar biasa. Hampir tidak ada orang yang
tidak meneteskan air mata saat menyaksikan Mann dan Kuch Kuch Hota Hai.
Seringkali juga saat menonton film Bollywood saya mengalami semacam déjà vu.
Misalnya saat nonton Chori Chori Chupke Chupke (2001) saya pasti teringat
Pretty Woman (1990), saat menyaksikan Koi..Mil Gaya (2003) saya pasti teringat
E.T. the Extra-Terrestrial (1982), dan pada saat menyaksikan MNIK (2010) saya
pasti teringat Rain Man (1988). Beberapa adegan di film-film tersebut banyak
sekali yang mirip, sampai-sampai terkadang saya berpikir film-film tersebut
adalah plagiat. Tapi saya selalu berusaha berbaik sangka, dan berpikir bahwa
pembuatnya adalah orang-orang yang profesional, jadi pasti mereka sangat tahu
tentang resiko pembajakan.
Lagu
dan tarian di film Bollywood hampir menjadi sesuatu yang fardlu ‘ain,
yakni harus ada. Film India tanpa lagu bagaikan banteng tanpa tanduk. Namun
akhir-akhir ini Bollywood nampaknya ingin jadi Hollywood. Film-film dibikin
lebih realistis, lagu-lagu dikurangi atau hanya dijadikan suara latar atau
ditampilkan dalam momen yang masuk akal, misalnya di gereja. Lagu-lagu dan
tarian menurut saya merupakan bagian penting yang turut mempengaruhi aspek
internal dan eksternal film India. Bahkan terkadang, lagu-lagunya jauh lebih
terkenal dan lebih bagus ketimbang filmnya, contoh lagu-lagu dalam film Soldier
(1998). Lagu dan tarian dalam film india terkadang memiliki fungsi krusial
menjaga kontunuitos plot cerita dan mengembangkan karakter tokoh, namun
terkadang hanya bersifat atributif saja.
Hollywood
sendiri bukannya tidak mempunyai film musikal, tapi agaknya masa keemasannya
telah lewat. Film musikal Hollywood sangat populer di rentang tahun 1930-an
sampai dengan tahun 1950-an, yaitu dengan rata-rata 30 film musikal per tahun.
Sedang mulai 1960 sampai sekarang rata-rata hanya 10-15 film musikal per tahun.
Untuk publik Indonesia film musikal Hollywood sangatlah tidak familiar. Kalau
orang Indonesia mendengar kata Hollywood, maka yang paling mereka ingat adalah
pistol dan orang-orang dengan kekuatan super. Bahkan judul yang provokatif seperti
“From Paris With Love” dan “Mr. & Mr. Smith” pun ternyata
isinya tembak-tembakan melulu. Hmmm…
Maaf
untuk penggemar film action, bukan berarti saya merendahkan genre tersebut.
Tapi saya pikir sangat sedikit sekali film action yang punya cerita menarik.
Kedua film di atas meski, well, penuh baku tembak tapi dialognya sudah
cukup menarik, tidak membosankan. Tapi untuk nonton dua kali? Ini mungkin yang
akan saya katakan: No sir, thank you…. Lalu kenapa Anda suka The Matrix?
Alasannya: sefiktif apapun film The matrix tapi dialognya sangat cerdas,
religius dan filosofis. Sangat ketat dan orang mungkin harus nonton dua kali
untuk benar-benar memahami ceritanya. Menurut saya film-film Hollywood yang
tetap enak disaksikan bahkan setelah sekian puluh tahun adalah genre
drama-komedi atau drama-tragedy. Jadi jika orang bertanya pada Anda;
sebenarnya Anda itu lebih suka Hollywood apa Bollywood sih? Apa jawab Anda?
Holly
atau Bolly tidaklah menjadi soal. Saya punya opini sendiri soal film yang
bagus. Untuk saya pribadi film yang bagus adalah film yang, terlepas dari siapa
pembuatnya dan apa genre-nya, mampu membawa/menyulut katharsis dalam diri kita.
Dan sebuah pencerahan terkadang muncul dalam diri kita berkat skrip yang
edukatif atau dramatisasi cerita yang mengaduk emosi kita sedemikian rupa
hingga tumpahlah beban kita yang selama ini mungkin tak bisa kita lepas atau
bahkan mungkin tidak kita sadari keberadaannya namun terasa menyesakkan dada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar